notes | photography | activism | humanitarian

SBY Ditepi Jurang Politik Citra (Bagian 2)


**lanjutan dari “Ponsel untuk TKI

Munculnya berita tentang penyiksaan terhadap Sumiyati, yang disusul dengan berita kematian Kikim, TKI asal Cianjur, serta berita-berita serupa yang muncul bertubi-tubi menyebabkan SBY semakin terpojok di tepi jurang politik pencitraan. Masalah TKI adalah problem terpelik yang hingga kini belum sanggup dia atasi. Jika kinerja SBY diberi skor, barangkali nilai kinerja SBY dalam urusan TKI adalah “minus”. Tidak ada progress, yang ada justru kemunduran.

BNP2TKI yang diinstal melalui Perpres No. 81/2008 dengan misi khusus membenahi keruwetan masalah TKI, justru menjadi salah-satu sumber keruwetan baru yang memperberat derita politik SBY. Manuver-manuver politik Jumhur Hidayat yang ditunjuk SBY sebagai Kepala BNP2TKI bukan hanya membuat geram aktivis, tapi juga sempat memancing kekisruhan di lingkaran istana saat berebut urusan asuransi TKI dengan Erman Suparno, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Kabinet Gotong Royong Jilid I.

Sementara itu, program BNP2TKI untuk memindahkan terminal III ke Gedung Pencatatan Kepulangan TKI atau yang lebih terkenal sebagai “Terminal IV”, justru menyebabkan aparat BNP2TKI menjadi semakin agresif dan tidak punya sopan-santun sama sekali. Plang sambutan berbunyi “Selamat Datang Pahlawan Devisa” yang terpampang di depan gerbang pemeriksaan imigrasi di terminal II Soekarno-Hatta sama sekali tidak berbunyi penghormatan, melainkan jebakan yang semakin menyusahkan para TKI.

Sementara itu, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB (salah-seorang partai koalisi SBY), yang ditunjuk menggantikan Erman Suparno, nyatanya semakin keok. Ocehannya yang akan membolehkan para TKI dari Hongkong, Korea Selatan, dan Taiwan untuk pulang tanpa harus melalui terminal IV justru tidak digubris oleh petugas-petugas BNP2TKI dan calo-calo mata-uang yang bergentayangan selama 24 jam mengincar isi kantong TKI.

Citra SBY semakin ambrol ketika dalam menghadapi masalah TKI yang dideportasi dari Malaysia, SBY justru terkesan tidak berani mengambil resiko diplomatik untuk melindungi kepentingan warga negaranya yang dirampas semena-mena oleh otoritas Malaysia.

Masalah ini semakin runcing manakala SBY gugup dan ragu-ragu menghadapi kasus penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ditangkap petugas perairan Malaysia dan baru bisa dilepas setelah dibarter dengan nelayan-nelayan Malaysia mengeruk ikan di perairan Indonesia.

Kebetulan, peristiwa tersebut terjadi pada saat Peringatan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2010. Masyarakat terpicu oleh sentimen penghinaan atas kedaulatan negara, namun sikap SBY yang sangat lunak menyebabkan rakyat kian tidak percaya pada ketangguhan politik SBY dalam kancah diplomasi politik regional dan internasional. Muncullah seloroh, jangankan melindungi TKI, untuk petugasnya sendiri pun, SBY tidak mau peduli!

Di luar semua itu, SBY masih cukup “beruntung”, ketika DPR yang seharusnya menjadi pengimbang pemerintahannya justru mengalami dekadensi moral politik yang luar biasa parah. Berulangkali masyarakat mengecam dan mencibir sikap anggota dan pimpinan dewan yang “terhormat” yang tidak patut dan sepertinya tidak terkoneksi dengan persoalan-persoalan rakyat yang kian akut. Mulai dari kasus-kasus personal, terkait dengan maraknya isu-isu miring seputar “mafia senayan” sampai masalah-masalah kelembagaan, seperti rencana rekonstruksi gedung dewan yang supermewah, lengkap dengan fasilitas spa dan kolam renang (yang konon digunakan untuk mencegah kebakaran).

Belakangan dewan disorot oleh sikap-sikap “senselessness” terkait dengan rencana liburan ke luar negeri atas nama “kunjungan kerja” yang menghambur-hamburkan uang negara. Tidak hanya itu, muncul pula insiden penelantaran TKI di Dubai oleh anggota Dewan yang baru pulang menjalankan TUGAS NEGARA dari Moscow, Rusia. Sebelumnya ada pula kasus candaan tidak lucu dari Ketua DPR yang mengenye’ masyarakat Mentawai yang baru saja diterpa bencana tsunami. Uniknya, anggota dewan yang dipandang “bermoral rendah”, justru berasal dari partai Demokrat yang didirikan SBY kuranglebih Sembilan tahun lalu.

SBY juga relatif “beruntung” karena kekuatan-kekuatan politik lain ternyata memiliki dosa politik yang kurang lebih sama kepada konstituennya. Aburizal Bakrie misalnya, Ketua Umum Golkar yang kerap dituding sebagai musuh dalam “kasurnya” SBY, punya dosa politik yang sulit dia tepis akibat masalah lumpur Lapindo dan kasus manipulasi pajak yang disebut-sebut terkait dengan Gayus Tambunan.

Demikian pula dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP yang terang-terangan beroposisi dengan SBY. Problem terberat Megawati adalah menanggulangi syahwat politik Taufik Kiemas, suami Megawati yang kini menjadi Ketua MPR, yang sudah terang-terangan ngebet ingin “bercumbu” dengan SBY. Perpecahan dalam rumah-tangga PDIP inilah yang menyebabkan rakyat cenderung bersikap wait and see, bahkan kadang memilih menjauh dari Megawati. Karena itulah, Mega tidak mampu menarik energy politik rakyat yang luar biasa di bawah kepemimpinannya.

Demikian pula dengan Surya Paloh, konglomerat media yang pelan-pelan menggalang kekuatan politik di luar jalur parlemen, dengan tujuan menghimpun kekuatan rakyat yang tidak tersalurkan melalui jalur-jalur resmi konstitusional. Problem terberat Surya Paloh adalah adanya anggapan atas sikap politiknya yang cenderung “oportunis”. Surya Paloh sudah kalah dalam pertarungan dengan Aburizal Bakrie memperebutkan posisi ketua umum Golkar. Jika sama Ical saja kalah, apalagi sama SBY!

Intinya, meski terjadi friksi antar elit, namun sampai meruncing. Secara de jure konstitusional, kursi SBY tetap aman untuk sementara. Tapi secara politik, akuntabilitasnya ambrol seperti sekantong plastik air comberan yang bau, pecah dan memuntahkan material-material yang menyengat hidung ke segala arah.

Dengan gambaran tersebut, rakyat tidak memiliki saluran formal yang terkomensi di seluruh negeri untuk mengangkat aspirasi politiknya. Namun hambaran ini justru melahirkan banyak gagasan-gagasan kreatif yang memiliki peranan signifikan dalam mengarahkan artikulasi politik rakyat pada langgam yang lebih berirama. Pelan-pelan, formasi politik rakyat semakin terbentuk dan sarana-sarana politik yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya (seperti situs jejaring sosial facebook dan twitter).

ini wacana tentang penggulingan SBY sudah beredar, meski catatannya, kelahiran wacana tersebut cenderung prematur. Di luar itu, secara perlahan, rakyat telah memiliki kedewasaan politik yang jauh lebih tinggi. Tidak terburu-buru membangun gerakan pemecatan SBY, melainkan secara perlahan mengonsolidasikan seluruh gagasan-gagasan yang berkembang menjadi sebuah gerakan sosial yang nyata.

Di mata rakyat, akuntabilitas SBY sudah dibuang ke keranjang sampah. Pertanyaannya, sampai sejauh mana SBY bisa bertahan?

More Posts

Leave a comment